Pendeta Dr. Stephen Tong, pengkhotbah kabar baik yang telah menerangi puluhan juta hati umat manusia (jemaat) di Indonesia dan berbagai negara. Pendeta yang juga bertalenta sebagai komposer, konduktor dan arsitek ini sudah berkhotbah di hadapan lebih dari 30 juta manusia dalam lebih 29 ribu kali kebaktian, di mana lebih dari 250.000 orang telah memberi diri menjadi hamba Tuhan.
agi umat Kristiani di Indonesia, nama harum Pendeta Stephen Tong sebagai salah satu teolog Reformed Injili sudah menyebar dan menggarami hati banyak orang. Hingga usianya yang lanjut, penulis banyak buku ini kerap melakukan seminar di Indonesia dan luar negeri seperti Columbia University, University of California Berkeley, Stanford University, dan Cornell University.
Stephen Tong dilahirkan di Xiamen, Provinsi Hokkian, RRC pada tahun 1940. Ayahnya, Tong Pai Hu berkebangsaan China, sedangkan ibunya, Tan Tjien Nio (Dorcas Tanjowati), seorang keturunan Tionghoa Indonesia kelahiran
Yogyakarta. Setelah dua tahun menikah, ayahnya yang juga seorang
pengusaha pindah dari Semarang merantau ke Amoy lalu membuka usaha di sana. Saat itulah ibunya kemudian menjadi pemeluk agama Kristen dan melahirkan delapan anak. Ketika perang Pasifik mulai berkecamuk, sang ayah meninggal dunia. Saat itu usianya masih tiga tahun. Sepeninggal ayahnya, keadaan keluarga mereka semakin sulit karena tinggal ibunyalah yang menjadi tumpuan untuk memenuhi keperluan rumah tangga.
Kehidupan yang semakin sulit itu membuat ibunya membawa kembali anak-anaknya ke Indonesia. Mereka menjadi warga negara Indonesia dan tinggal di Surabaya. Di kota itu ibunya berusaha dengan membuka toko jahit. Ketika itu usia Stephen Tong masih sembilan tahun.
Stephen sendiri adalah anak ke enam dari delapan bersaudara. Tujuh saudaranya laki-laki yakni: Tony, Yohanes, Petrus, Caleb, Solomon, Joseph dan satu
perempuan yaitu Maria. Selain Stephen Tong, empat saudara laki-lakinya juga menjadi pendeta diantaranya Pendeta Caleb Tong yang menjadi pendeta di Gereja Kristen Injili Indonesia di Bandung dan Solomon Tong.
Stephen Tong memulai pelayanannya pada tahun 1957. Ketika itu, Stephen Tong mengaku mengalami pergumulan yang paling berat. Kisahnya, diawali dari sebuah acara KKR di Surabaya. Ia ketika itu mendengarkan khotbah Andrew Gih yang menggugah hatinya. Sejak saat itu, di dalam hatinya mulai timbul niat untuk melayani Tuhan dan menyatakan tekad seumur hidupnya untuk mengabdi pada Kristus.
Lima tahun sebelum ia benar-benar menyerahkan hidupnya untuk melayani umat Tuhan, yakni saat usianya 12 tahun, Tong mengaku sebenarnya sudah menyerahkan diri pada Tuhan dan menyatakan komitmennya. "Seumur hidup saya mau menjadi hamba-Mu dan tugas utamaku adalah memberitakan Injil di dalam sejarah manusia untuk memenangkan jiwa kembali ke Kerajaan Tuhan," demikian komitmennya kala itu.
Namun, selama lima tahun kemudian, ia mendapat ujian akan imannya. Dunia mulai kembali mengalihkan perhatiannya dan tertarik pada komunisme, atheisme, evolusionisme, dialektika materialisme, dan filsafat-filsafat yang paling modern. Untuk ukuran sebayanya pada waktu itu, tidak banyak yang berminat untuk mempelajari hal-hal tersebut. Namun sebaliknya, dirinya makin tertarik dan saat itulah dirinya sempat menanggalkan iman ke-Kristenannya.
Setelah lima tahun ia mengalami pasang surut akan imannya dan bahkan sudah melepaskannya, cahaya terang mulai menghampiri Stephen Tong dalam pengembaraannya. Saat itu, Pendeta Andrew Gih menjadi awal pemecah kebekuan hatinya. Ketika itu, Pendeta Andrew datang berkhotbah ke Surabaya dan menurut Stephen sangat unik. Stephen Tong kala itu ikut menghadiri acara tersebut, namun kali ini ia melakukannya bukan atas keinginan dirinya sendiri, tapi semata-mata untuk menyenangkan hati ibunya. "Saya menghadiri retreat yang dipimpin oleh Pendeta tersebut untuk menyenangkan hati mama saya," aku Stephen.
Namun ternyata, hari itu menjadi pegumulan hebat di dalam batinnya karena khotbah sang pendeta begitu menyentuhnya. Jiwanya pun mulai gelisah, apalagi ia sudah sempat membuang iman Kristennya. Namun ibunya yang sudah menjadi janda sejak usianya masih 3 tahun selalu setia mendoakannya.
Hari itu menurut Stephen Tong menjadi puncak pergumulan terberat selama 17 tahun dalam hidupnya. Hatinya pun mulai gundah. "Apakah saya harus kembali kepada iman yang menurut saya saat itu sudah kuno, sudah digugurkan oleh ilmu, sudah ditolak oleh orang modern," kenang Stephen. Karena ia sendiri merasa sudah meninggalkan imannya, ia tidak berani dan malu berdoa di kamar karena saat itu banyak orang yang ikut camp.
Sebelum kebaktian dimulai, ia pun mencari kamar mandi. Di atas ubin yang basah, ia pun mulai memberanikan diri berdoa. "Tuhan kalau malam ini ternyata Engkau hidup, panggil saya dengan kuasa-Mu. Jika saya tidak sanggup melawan-Mu, maka saya akan seumur hidup setia sampai mati. Jikalau tidak ada panggilan jelas dan ternyata Engkau tidak bicara pada saya, saya akan lolos dan seumur hidup tidak lagi mengenal Engkau," begitu doa Stephen kala itu.
Dari kedalaman hatinya, ia bergumul dalam doa dengan air mata bercucuran. Ia pun mulai tenang dan memberanikan diri ikut kebaktian pada malam itu. Saat itu ia melihat ada temannya yang bicara, tertawa seolah mengejek dirinya. Namun ia kembali menenangkan dirinya, diam, tenang, dan serius mengikuti kebaktian. "Saya mau melihat bagaimana Tuhan bekerja," begitu suara hatinya. Ia pun mulai duduk, namun ia merasakan sesuatu yang berbeda kali ini. Kursi yang didudukinya terasa lebih keras dari biasanya, suasana yang lebih dingin dan waktu lewat lebih pelan dari biasanya. Ia pun mulai betanya-tanya, "Atheismekah atau Theisme? Pagankah atau Christian? Komunismekah atau Kristen? Evolusikah atau Creation?"
Di satu sisi ia melihat ada orang-orang Kristen yang mencintai Tuhan dan dikaguminya. Di sisi lain, fakta mengenai filsafat-filsafat mutakhir juga tidak bisa ditolaknya. "Ini adalah saat penentu," serunya dalam hatinya yang masih kalut.
Ia pun mulai serius menyimak khotbah yang dibawakan pendeta. Sekaligus menjadi khotbah yang telah membawanya kembali mengenakan jubah iman yang sempat ditanggalkannya. Malam itu, Pendeta Andrew Gih berkotbah tentang lima suara. Mencoba mengenang kembali khotbah Pendeta Andrew, Pendeta Stephen Tong menceritakan, suara pertama disebutkan adalah suara Allah Bapa: "Siapa yang boleh aku utus," firman-Nya. Lalu jawaban dari Yesaya: "Di sini saya, utuslah saya." Kemudian suara Tuhan Allah mengatakan, "Saya akan mengirim engkau untuk memberitakan Firman yang tidak diterima oleh orang lain. Saya akan mengirim engkau pergi kepada bangsa-bangsa yang keras hati." Dalam hal ini Stephen mengaku masih kaget karena bertentangan dengan pikirannya. Namun ia menyadari ada makna tertentu yang harus dipelajarinya.
Kemudian, ia mendengarkan tentang suara kedua, yaitu suara Anak Allah yang berkata: "Tuaian sudah masak, pergilah menuai sebelum waktu lewat dan pergilah ke seluruh dunia kabarkan Injil jadikan segala bangsa muridku." Kemudian suara ketiga adalah suara Roh Kudus diambil dari kitab Wahyu, mengenai barang siapa yang rela meminum air hidup akan diperanakkan pula, karena Injil adalah kuasa Allah untuk menyelamatkan setiap orang yang percaya.
Suara keempat adalah suara Rasul: "Jikalau aku tidak mengabarkan Injil, celakalah aku," kata Paulus. Karena beban ini sudah diberikan kepada aku dan jika aku dengan rela mengerjakannya ada pahala bagiku, rela, terpaksa, terpaksa, rela, aku harus rela memaksa diriku untuk melayani Injil atau aku harus memaksa diri untuk rela melayani? Lagi-lagi mengenai khotbah suara keempat ini, Stephen mengaku masih agak kaget, karena berbeda pikirnya.
Sedangkan suara kelima adalah suara dari neraka. Di sini pun Stephen Tong masih agak kaget. Karena selama ini, ia belum pernah mendengar ada suara pekabaran Injil dari neraka. "Siapa pun pendeta, tidak pernah mengkhotbahkan kalau dari neraka ada orang memanggil manusia mengabarkan Injil," katanya. Hal itu diambil Pendeta Andrew dari Lukas 16. Di sana Abraham disebut, disuruh mengirim orang pergi memberitakan Injil kepada saudara orang kaya yang dihukum supaya mereka tidak jatuh ke neraka. Abraham mengatakan bahwa hal itu tidak bisa. Yang kaya mengatakan, kalau Abraham meminta Lazarus yang pergi, mereka akan percaya.
Menurut Pendeta Andrew saat itu, di dalam Kekristenan ada dua arus. Yang menekankan Firman dalam penginjilan, dan yang menekankan mujizat. Banyak pendeta sudah jatuh dalam takhyul, tanpa pakai mujizat tidak akan ada orang yang menerima Firman Tuhan. Orang akan lebih mudah percaya jika Lazarus yang sudah pernah mengalami mujizat, yakni dibangkitkan dari kematian daripada Abraham karena tidak ada mujizat. Kalau Lazarus yang berkhotbah karena dia sudah bangkit dari kematian, maka lima orang bisa percaya.
Namun, Pendeta Andrew mengingatkan, konsep dengan mukjizat itu bukan strategi Tuhan sebab Firman sudah ada dalam dunia. Mujizat terbesar adalah melalui percaya kepada Yesus Kristus, orang berdosa bertobat, orang yang mati rohani dapat hidup kembali dan menjadi anak Tuhan yang jujur dan setia.
Setelah mendengar khotbah Pendeta Andrew Gih itu, Stephen Tong mengaku mulai merasakan Roh Kudus bekerja dalam hatinya. Khotbah tersebut mulai merubah cara pandang dan berpikirnya. Ilmu-ilmu yang dimilikinya ternyata kosong belaka. Man is not what he thinks, man is not what he feels, man is not what he behaves. Namun sebaliknya manusia di hadapan Tuhan adalah sama. Man is equal to what he reacts before God. You will be counted in eternity as what you react to God, when you're living in this earth.
Akhirnya Stephen mengaku mulai mendengar suara yang sangat dahsyat di dalam hatinya, "Kalau engkau tidak mengabarkan Injil, maka engkau lebih kalah dari orang di dalam neraka, orang yang jatuh di dalam neraka masih mengharapkan saudaranya diselamatkan. Meskipun strateginya salah, tetapi keinginan mereka supaya saudara sekandung mereka diselamatkan. Lebih besar cinta daripada engkau yang tidak mengabarkan Injil."
Mendengar seruan tersebut, Stephen pun mengaku tersadar. Air matanya mengalir terus yang tanpa disadarinya membuat pakaian depannya basah kuyup. Di dalam keterharuannya setelah mendengarkan suara Tuhan, ia pun berjanji setelah mendapatkan jawaban atas seluruh pertanyaannya kepada Tuhan. "Hari ini saya janji, seumur hidup menjadi hamba-Mu, mengabarkan Injil."
Mendengar seruan tersebut, Stephen pun mengaku tersadar. Air matanya mengalir terus yang tanpa disadarinya membuat pakaian depannya basah kuyup. Di dalam keterharuannya setelah mendengarkan suara Tuhan, ia pun berjanji setelah mendapatkan jawaban atas seluruh pertanyaannya kepada Tuhan. "Hari ini saya janji, seumur hidup menjadi hamba-Mu, mengabarkan Injil."
Dalam perjalanan hidupnya selanjutnya, ia membuat apologetika yang melayani penginjilan dan teologi Reformed yang solid yang menjadi senjatanya dalam melakukan setiap pelayanan. Dalam setengah abad pelayanannya, Stephen yang biasa berkhotbah dalam berbagai bahasa (bahasa Indonesia, Mandarin, dialek Fujian, dan Inggris) ini sudah berkhotbah di hadapan kira-kira 30 juta manusia di lebih dari 29 ribu kali kebaktian, di mana lebih dari 250.000 orang telah menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Ia telah menjelajah kira-kira 600 kota di dalam 51 tahun. Di usianya yang tidak muda lagi, saat berusia 68 tahun misalnya, dalam satu tahunnya ia masih sanggup terbang sebanyak 300 kali, berkhotbah 500 kali dan di antaranya dilakukan di Indonesia.
Kebaktian yang dilakukan digelar di berbagai kota itu selalu dalam skala besar, karena seluruh gereja di dalam kota, baik saat diadakan di Indonesia maupun luar negeri selalu diundangnya. Namanya pun makin santer dikenal di kalangan luas sebagai teolog reformed terkemuka atas keteguhan hatinya menyebarkan Injil secara terus-menerus.
Di beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dia juga kerap melakukan seminar. Sedangkan di mancanegara ia pernah melakukannya di Cambridge (Massachusetts Institute of Technology), Hong Kong (China Graduate School of Theology), Taiwan (China Evangelical Seminary), Singapura (Trinity Theological College), Westminster Theological Seminary, Regent College, Columbia University, University of California at Berkeley, Stanford University, University of Maryland, dan Cornell University.
Pada tahun 1984 misalnya, ia mulai mengadakan Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) di Jakarta. Seminar ini dibentuk sebagai pendahuluan berdirinya Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) pada tahun 1986. Saat itu, Pdt. Dr. Stephen Tong mengajak Pdt. Dr. Yakub Susabda dan Pdt. Dr. Caleb Tong menjadi pendiri bersama. Selain itu, tahun 1986 ia juga mendirikan Sekolah Tinggi Reformed Injili di Surabaya, kemudian di Jakarta pada tahun 1987, dan Malang pada tahun 1990. Di sekolah tinggi ini, ia menjabat sebagai rektor.
Di sela-sela kesibukannya sebagai pendeta, peraih gelar doktor kehormatan dari La Madrid International Academy of Leadership di Manila, Filipina (1985) dan gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Westminster Theological Seminary (Mei 2008), ini juga mengajar teologi dan filsafat selama hampir 25 tahun (1964-1988) di almamaternya, tempat ia memperoleh gelar Bachelor Degree in Theology (B. Th), yakni Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Selain itu, ia juga mengajar di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) yang didirikannya.
Sepanjang pelayanannya, Stephen Tong telah mendirikan sebuah gereja dan banyak lembaga pendidikan. Tahun 1990, ia mendirikan Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) dan memiliki banyak cabang afiliasi di dalam maupun di luar negeri. Di GRII Pusat, ia menjadi Gembala Sidang sekaligus Ketua Sinode. Sementara lembaga pendidikan antara lain: Jakarta Oratorio Society pada tahun 1986; Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI) (1979) ; Stephen Tong Evangelistic Ministries International Institute, tahun 1996; dan Christianity and 21st Century Insitute di Washington D.C, USA, tahun 1996.
Selain ulung dalam memberitakan Firman Tuhan, Stephen Tong juga memiliki berbagai keahlian lain sehingga ia layak disebut hamba Tuhan multi talenta. Ia seorang pendeta yang juga memiliki pengetahuan luas di bidang filsafat, sejarah, dan arsitektur. Ia telah merancang beberapa bangunan gereja dan menuliskan banyak buku. Selain itu, ia juga seorang komposer dan pecipta lagu-lagu gereja. Sebagai wujud kecintaannya kepada musik, pada tahun 1986 ia mendirikan Jakarta Oratorio Society dan telah melakukan konser di beberapa kota di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia, Singapura, Kuala Lumpur, Hong Kong, Taiwan, dan Malaysia.
Konsernya juga mendapat sambutan positif dari masyarakat, terbukti setiap mengadakan konser selalu dihadiri ribuan orang. Saat melakukan konser di Indonesia dalam rangka memperingati seratus tahun J.S. Bach dan G.F. Handel misalnya, ia berhasil memecahkan rekor dengan menarik 27.000 pengunjung pada konser di tujuh kota (Malang, Surabaya, Semarang,
Yogyakarta, Solo, Bandung, dan Jakarta).
Pada bulan Desember 2008, ia juga mengadakan pagelaran musik lengkap Messiah oleh Handel di Katedral Mesias yang menarik jumlah pengunjung kira-kira 9.000 orang, sekaligus sebagai rekor penampilan musik klasik terbesar di Indonesia dimana Stephen Tong tampil memimpin 200 orang lebih anggota koor dan orkestra Jakarta Oratorio Society (JOS). Terakhir pada Oktober 2009, ia menggelar konser di Simfonia Jakarta yang dibangun dan didedikasikan untuk Tuhan dan seluruh pecinta musik klasik Indonesia.
Menurut Stephen Tong sendiri, ia aktif dalam pagelaran-pagelaran itu karena kerinduan dan keterpanggilan untuk mengembalikan pengertian musik gereja yang bermutu. "Saya terbeban untuk mengembalikan musik gereja ke akar tradisinya, karena musik gereja sebenarnya merupakan bentuk pujian yang terbaik untuk memuliakan nama Tuhan. Gereja sebenarnya harus memelihara tradisi musiknya, karena tanpa sejarah dan tradisi musik gereja yang ketat, maka nilai-nilai itu akan luntur," katanya.
Pandangannya soal tradisi musik itu, tidak lepas dari teologi Reformed Injili yang diusungnya. Teologi itu muncul untuk menjawab hadirnya berbagai gerakan karismatik dan liberalisme. Pada dasarnya, teologinya itu menekankan pada pentingnya Alkitab sebagai suara Tuhan dan secara aktif mendorong penginjilan. Itulah sebabnya, ia termasuk pengkritik keras budaya Barat, budaya Timur, New Age Movement, seni kontemporer, postmodernisme, psikologi, filosofi, dan teologi kemakmuran.
Tentang teologi kemakmuran misalnya, ia kritik karena dengan teori itu orang hanya akan percaya kepada Tuhan jika disertai dengan mujizat. Orang baru percaya pada Tuhan jika sudah mendapat mujizat kesembuhan dan kekayaan yang tidak lain semuanya adalah teologi sukses, teologi berhasil, teologi makmur yang merajalela.
Mendirikan Gereja
Stephen menyadari, mendirikan gereja di Indonesia khususnya di Jakarta dan sekitarnya akan semakin mendapat tantangan yang lebih besar. Namun demikian, ia selalu percaya bahwa dukungan selalu datang dari Tuhan. Setelah 16 tahun menanti dengan berbagai hambatan, Stephen dan jemaatnya berhasil mendirikan sebuah bangunan gereja yang dinamai Gereja Katedral Mesias Jakarta.
Proses pendirian gereja ini memakan waktu yang cukup panjang. Rencana pembangunan gereja ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak tahun 1992, namun baru bisa berdiri tegak pada tahun 2005/2006 setelah ijin pembanguan gereja dikeluarkan, dan diresmikan 3 tahun kemudian, tepatnya pada 20 September 2008.
Pembangunan yang diperkirakan menghabiskan dana miliyaran ini dihimpun dari para jemaat gereja. "Gereja ini tidak disupport oleh siapa pun, juga tidak disubsidi oleh pemerintah, bahkan tidak meminjam uang dari bank. Kami hanya mengumumkan melalui mimbar bahwa jemaat kita sudah banyak dan perlu membangun sebuah gereja. Hal ini diumumkan mulai tahun 1992. Setelah belasan tahun menunggu ijin, akhirnya tiga tahun lalu dengan ijin yang resmi kami mulai membangun," demikian penjelasan Pdt. Stephen Tong kepada stasiun radio Deutsche Welle.
Pada masa-masa pembangunannya, Gereja Katedral Mesias ini kadang mendapatkan provokasi dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Kendati demikian, Pdt. Stephen Tong yang selalu mengedepankan toleransi ini meyakini bahwa para pelaku bukan dari pihak masjid sebelah. Meski dalam suasana tekanan, namun pembangunan gereja tetap berjalan terus setelah para pemuka agama melakukan dialog.
Sebelum gereja ini resmi berdiri, awalnya pembangunan akan didirikan di daerah Cempaka Putih. Namun setelah mendengarkan masukan dari pemuka agama Islam setempat, diusulkan agar gereja dibangun di daerah Kemayoran. Setelah itu, barulah ijin pembangunan Gereja Katedral Mesias yang berdekatan dengan sebuah masjid ini dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta.
Menurut Stephen Tong, dengan berdirinya gereja ini, telah menepis kesalahpahaman selama ini yang mengatakan bahwa Indonesia tidak toleran terhadap agama minoritas. "Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hambatan dari pemerintah Indonesia untuk membangun tempat pusat peribadatan," katanya. Sebagai pendeta, ia juga sangat menginginkan adanya perubahan dan kemajuan dalam hal toleransi di Indonesia. Sebab ia meyakini bahwa sebagian besar orang Indonesia adalah orang-orang baik, apapun agamanya.
"Di Indonesia, bukanlah hal asing jika sebuah gereja diganggu, ditutup, atau bahkan dibakar, namun berdirinya Gereja Katedral Mesias ini bersanding dengan tempat ibadah umat lain adalah sebuah kemajuan dalam kerukunan beragama," kata Stephen Tong.
Namun ia juga sangat menyayangkan perkembangan belakangan ini, dimana, ketika zaman
Bung Karno, paling hanya 1 atau 2 gereja yang dibakar. Namun dalam 15 tahun terakhir ini, ada sekitar 1.000 gereja yang dibakar dan dirusak. Lagipula, siapa saja pelakunya tidak pernah sampai diungkap di pengadilan.
"Saya percaya bahwa sebagian besar orang Indonesia baik sekali, meskipun beragama Islam, dan ada juga orang Kristen Indonesia yang memiliki kelemahan," katanya. Sehingga ia meyakini bahwa orang-orang yang melakukan pengrusakan dan provokasi untuk memecah kerukunan terhadap agama lain hanyalah segelintir orang. Ia pun mengingatkan, agar orang Kristen juga introspeksi di saat-saat mengalami tekanan ketika mendirikan gereja. Menurutnya, adanya penolakan dan ketidaksenangan adalah hal lumrah. Namun demikian masyarakat Indonesia diharapkan untuk semakin memahami Bhinneka Tungal Ika, tentang kebebasan beragama, hak azasi manusia, dan toleransi.
Ia memberikan gambaran, misalkan 8% penduduk Jakarta adalah umat Kristiani. Jika 13,62 juta penduduk Jakarta, maka sekitar 1,5 juta itu orang Kristen. Dan untuk ukuran 1 juta orang Kristen, maka jika 1 gereja dipenuhi 4.000 orang, gereja itu tidaklah besar. Begitu juga dengan orang Kristen, tidak boleh marah jika Masjid Istiqlal begitu besar, karena memang orang Islam begitu banyak.
Seiring dengan itu, tujuan pendirian Gereja Katedral Mesias dengan kapasitas 4.000 jemaat di tanah seluas 3000 meter persegi itu pun menurutnya bukanlah karena kesombongan, arogansi, atau menunjukkan bahwa gereja memiliki uang banyak, tetapi karena memang kebutuhan seiring dengan banyaknya jemaat saat ini
إرسال تعليق